Membatik sebenarnya bukan keahlian masyarakat di Riau. Namun, berkat dukungan Grup APRIL, hal itu berubah. Kreativitas para wanita di Bumi Lancang Kuning dalam membuat batik tumbuh karena dilatih oleh anak perusahaan Royal Golden Eagle (RGE) tersebut.
APRIL merupakan bagian dari RGE. Mereka adalah produsen pulp dan kertas terkemuka di dunia. Namun, di bawah naungan Royal Golden Eagle tidak hanya ada ada APRIL. Masih ada anak-anak perusahaan lain yang menggeluti industri berbeda.
RGE berdiri pada 1973 dengan nama Raja Garuda Mas. Mereka merupakan korporasi yang berkiprah di pemanfaatan sumber daya alam. Pulp dan kertas adalah salah satu bidang yang ditekuni. Tapi, mereka juga bergerak di sektor lain mulai dari kelapa sawit, selulosa spesial, serat viscose, serta minyak dan gas.
Berkat itu, sayap Royal Golden Eagle sudah melebar ke luar Indonesia. Mereka punya anak-anak perusahaan di Tiongkok, Brasil, Kanada, dan Spanyol. Meski memiliki bidang industri berbeda dan tersebar di berbagai tempat, anak perusahaan RGE selalu mempunyai kesamaan. Mereka diwajibkan untuk aktif mendukung masyarakat di sekitarnya. Tidak aneh, unit-unit bisnis RGE berlomba mengembangkan komunitas di area perusahaan.
APRIL melakukannya dengan banyak cara. Salah satunya dengan menumbuhkan kreativitas para wanita di Riau dalam membatik. Aktivitas tersebut dipicu oleh kegiatan para wanita di Riau. Banyak di antara mereka yang memiliki waktu senggang usai mengurus rumah tangga. Ini disadari oleh oleh para wanita tersebut. Namun, mereka memang tidak tahu harus berbuat apa.
Hal ini yang akhirnya mendorong APRIL untuk melakukan pelatihan membatik di Pangkalan Kerinci, Riau, sejak 2013. Kegiatan ini merupakan hal baru bagi para wanita di sana. Sebab, batik bukan seni yang dikembangkan di Riau. Namun, APRIL tahu bahwa para wanita di Riau punya potensi yang terpendam. Maka, dengan mendirikan Rumah Batik Andalan, mereka melakukan pelatihan batik ke warga yang bersedia.
Anak perusahaan Royal Golden Eagle ini cukup serius dalam menjalankan pelatihan. Mereka mengundang sejumlah ahli produksi batik untuk datang langsung. Selain itu, mereka pun tidak ragu mengirim para peserta untuk belajar ke sentra-sentra pembuatan batik seperti di Yogyakarta, Surakarta, dan Pekalongan.
Mereka yang serius dan bertahan terus berlatih menuai buah manis. Para wanita tersebut mampu memproduksi batik dan memperoleh penghasilan dari hasil berjualan. Salah satu contohnya adalah Siti Nurbaya. Wanita yang saat ini menjadi Ketua Rumah Batik Andalan ini mulanya tidak tahu sama sekali tentang produksi batik. Namun, berkat pelatihan yang diberikan APRIL, ia jadi terampil memproduksinya.
Saat ini, wanita yang biasa disapa Bu Baya ini menjual hasil produksinya di Rumah Batik Andalan. Konsumennya bukan hanya warga sekitar, namun banyak pula dari pihak-pihak di luar Pangkalan Kerinci. Misalnya dari para tamu APRIL, pejabat pemerintah yang melakukan kunjungan, ataupun hotel di sekitar Riau.
Berkat itu, penghasilan pun diperoleh. Saat ini, per bulan Rumah Batik Andalan mampu menembus omzet Rp20 juta hingga Rp30 juta. Namun, ketika pesanan sedang banyak, omzet meningkat drastis.
“Kami menerima banyak sekali pesanan batik. Kami pernah dapat order pembuatan 1.700 lembar batik. Sekarang salah satu hotel sudah mau memesan batik ke kami. Rata-rata omset kami sebesar Rp25-30 juta perbulan. Bahkan, kami bisa mendapat omzet Rp100 juta perbulan ketika ada order seragam,” kata Bu Baya di Wartaekonomi.co.id.
MEMBUAT MOTIF SENDIRI
Bu Baya bukan satu-satunya orang yang merasakan manfaat Rumah Batik Andalan. Program dari APRIL itu membantu banyak wanita untuk produktif. Berkat kemampuan membatik, mereka jadi punya penghasilan untuk mendukung ekonomi keluarganya.
Salah satu contohnya wanita asal Pangkalan Kerinci, Hari Fitri Rahmadani. Mulanya ia tidak produktif. Fitri, demikian ia biasa disapa, tidak mampu membantu suaminya yang bekerja serabutan dalam mendapatkan penghasilan. Namun, setelah dilatih oleh unit bisnis RGE tersebut di Rumah Batik Andalan, semua itu berubah.
“Diajak ke Yogyakarta, didatangkan juga pembatik dari Yogya ke sini. Kami masih memiliki banyak kekurangan. Dari desain, dan warna. Kami belajar lagi ke Pekalongan. Kami diberi kepercayaan membuat syal, masih kurang juga. Kami lalu diajak ke Padang. Ada juga guru dari Solo supaya warnanya tidak luntur, cerah, dan berbagai macam motif. Sekitar 1 tahun kita belajar,” papar Fitri.
Setelah difasilitasi pelatihan oleh anak perusahaan Royal Golden Eagle tersebut, Fitri jadi terampil membatik. Ia pun mulai memproduksi batik. APRIL juga mendukung upaya produksi. Mereka memberinya dukungan permodalan. Namun, modal yang diberikan bukanlah uang, melainkan berupa bahan baku seperti kain, lilin dan pelatihan.
Berkat itu, Fitri mampu mendapat penghasilan sendiri. Bersama-sama dengan yang lain, ia membuat batik dan dijual melalui Rumah Batik Andalan. Merekai mendapat upah dari tiap lembar yang dikerjakannya sebesar Rp100-200 ribu. Untuk batik tulis dibanderol Rp350-500 ribu dan semitulis dihargai Rp200-300 ribu. “Kalau pendapatan saya per bulan Rp2-2,5 juta, bersih. Banyak ibu-ibu yang bisa mengkuliahkan anaknya. Ada juga yang kredit rumah atau kredit motor,” kata Fitri.
Bukan hanya penghasilan yang didapatkan oleh Fitri maupun para wanita di Pangkalan Kerinci dari Rumah Batik Andalan. Lebih dari itu, bakat terpendam mereka muncul. Kreativitas dalam membatik merupakan buktinya. Para wanita di Rumah Batik Andalan itu akhirnya mampu melahirkan motif sendiri. Mereka mengambil inspirasi dari alam sekitar di Pangkalan Kerinci dan Riau secara umum.
Ada lima motif batik yang mereka hasilkan, yakni Bono, Akasia, Timun Suri, Eukaliptus dan Lakum. Setiap motif punya makna tersendiri. Motif Bono misalnya. Ini terinspirasi dari ombak Bono yang ada di Sungai Kampar yang unik. Lain lagi dengan motif Timun Suri dan Lakum. Mereka membuatnya karena banyak ditemukan di Pangkalan Kerinci dan disukai oleh masyarakat di sana sebagai sayuran.
Sementara itu, inspirasi motif Akasia dan Eukaliptus tak kalah menarik. Mereka melihatnya sebagai ciri khas daerah. Sebab, kedua tanaman itu banyak ditanam di daerahnya karena menjadi sumber bahan baku pulp dan kertas. Motif-motif tersebut menjadi ciri khas batik di sana. Berbeda dengan di Pulau Jawa, motif batik lebih didominasi warna cerah.
“Warna batik Pelalawan memang lebih berani. Motif-motif ini dipatenkan. Kami ingin orang tahu bahwa ini ciri khas Pelalawan. Jadi orang lain enggak bisa sembarangan memakai motif batik kami,” kata Fitri. Kreativitas para wanita Riau memang tersalurkan. Mereka mampu membuat batik sendiri berkat dukungan APRIL. Anak perusahaan Royal Golden Eagle tersebut mendukungnya dari awal untuk berkembang hingga mandiri.